Menciptakan Perdamaian Abadi Di Seluruh Belahan Dunia
Oleh:
Prof. Doctor. Hc.
Maharaja Srinala Praditha Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsawarman. Ph.D
Sripaduka
Baginda Berdaulat Agung Maharaja Kutai Mulawarman
TENGGARONG – wartaekspres.com - Latar
belakang, betapa suramnya bangsa Indonesia hari ini, dapat disaksikan dari beberapa
fenomenon yakni; hancurnya pertahanan budaya bangsa, hilangnya kemandirian
dalam pengambilan sikap dan kebijakan, pupusnya jiwa kebangsaan di kalangan
elit politik nasional maupun daerah, maraknya budaya konsumerisme, membanjirnya
produk-produk impor yang menjadi pilihan masyarakat, merebaknya icon-icon asing
sebagai kebanggaan masyarakat, luluhnya nilai-nilai lokal menuju modernitas
yang tanggung.
Hancurnya pertahanan budaya bangsa
dan rapuhnya pola hubungn sosial di masyarakat ini tak dapat dilepaskan dari
pengaruh globalisasi yang membawa misi dari kepentingan global. Hasrat
penguasaan terhadap sumber daya alam (SDA) dan pasar di negara-negara
berkembang menjadi kegilaan Negara-negara maju. Misi dagang itu tidak hanya
merebut sumber daya alam berupa mineral dan hutan, namun juga memiliki hasrat
yang kuat agar setiap insan dapat mengikuti perilaku dan standar moral global.
Pada kurun waktu 80-an, 90-an dan permulaan tahun di abad ke 21 nampak sekali
negara–negara dunia ketiga harus tertatih-tatih berhadapan dengan bius yang
dihembuskan oleh negara–negara asing.
Isu HAM, lingkungan dan demokrasi
digunakan secara curang untuk menolak hasil–hasil industri dari negara–negara
dunia ketiga, selanjutnya menyulap model kepariwisataan internasional yang harus
menyerap produk-produk makanan dan manufaktur dari negara–negara industri maju.
Mereka bukan hanya berdagang tapi
juga memaksakan model nilai–nilai yang mereka pahami, yang ternyata dalam
beberapa kajian menyebabkan pembusukan model karakter dari masyarakat Indonesia
dan Negara-negara berkembang lainnya. Imperialisasi yang komprehensif inilah
yang menjadi garda perang ekonomi antar bangsa–bangsa tersebut. Celakanya,
penanaman ideologi neo-liberal di Indonesia telah dengan sukses merusak tatanan
keluarga, sistem sosial komunal dan pola interaksi sosial yang selama ini
dibangga-banggakan.
Kita telah dengan sukarela, merusak
pola hubungan antar individu, yang selama ini dibangun secara kokoh oleh
ideologi Pancasila, dan filosofi besar Eka Sila, gotong royong diganti dengan
individualisme yang norak dan egoisme yang menggelikan. Bagaimanakah mungkin
bangsa yang punya sejarah persaudaraan yang sangat kuat ini tiba-tiba menjadi
beringas, dan berperasaan sempit.
Sebagai bagian yang berkelindan
dengan persoalan pertama, berkurangnya pemahaman kolektif terhadap nilai–nilai
sosial yang berupa kearifan tradisional, pengetahuan indigenous dan keagungan
spritualistas sudah dikikis oleh pola interaksi yang salah kaprah. Feodalisme
baru yang dingin dan kejam, telah menggantikan pola piramida kearifan yang
hangat dan penuh kasih sayang. Pengeroposan nilai–nilai ditingkat basis ini
juga disebabkan mobilisasi investasi yang sangat kuat di pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar