KUTAI MULAWARMAN – wartaekspres.com - Paduka pahami, bila sudah memeluk satu
Agama, maka yakinilah sebagai rasa syukur kita kepada Tuhan, keturunan Paduka
pasti menjadi tau, bahwa sejak awal Tuhan itu satu yakni Tuhan Yang Maha Esa,
di dalam Bangsa Indonesia, terpatri pada Sila Pertama sebagai nilai utama
kepercayaan seluruh umat beragama di seluruh dunia ini.
Cobalah Paduka pahami, nanti akan datang sutu petaka dan Balatentara alam di
empat penjuru, Megerib, Mesrib, Daksina dan Paksina yakni Barat, Timur, Utara
dan Selatan yang memiliki empat sipat tuhan pada alam yang fanah ini, yakni
Bumi (Adam) adalah Prasada adalah sipat dari Tanah dan Air. (Hawa) adalah
Pertiwi sipat dari Laut, sedangkan Angin (Anak) adalah kita sebagai Bayu sipat
dan watak kita mudah terbawa arah karena semua arah godaan panas Api (Jin)
adalah Agni yang sebagai penggoda yaitu Syetan yang tidak lain adalah Neraka.
Sudah sepantasnya kita jaga keseimbangan alam ini, agar tidak mendatangkan
bencara sehingga tercipta rasa keadilan terhadap kemanusian yang beradab.
Petaka datang takala biji-bijian tidak tumbuh, Walaupun ditanam yang tumbuh
berupa padi dan lainya hasilnya jelek, Hanya jadi makanan burung dan binatang.
Karena Paduka lah yang bersalah, telah lalai dalam tugas sebagai generasi luhur
pewaris Bangsa ini, yang semestinya terus memegang amanah bahwa kita lahir dari
satu gua garba Ibu Pertiwi di antara Lautan (Segara).
Daerah yang berwarna merah sehingga kita harus berani menempuh segala
rintangan dan hambatan dan berani dalam menentukan hidup di dunia yang penuh
cobaan, dan kita tumbuh dan hidup karena memiliki Sukta (Tulang) yang terbentuk
dari Darah Putih Prasada ayah (yakni mani) adalah lambing kesucian dan
keperkasaan.
Maka Merah Putih itu adalah lambang dari ibu dan bapak kita sebagai tuhan
yang nyata di dunia ini, yang selalu memberikan semangat untuk terus hidup
dalam menempuh segala cita-cita dan cinta.
Sehingga datangya keabadian yang hakiki takala kita meninggalkan Bumi ini
berlayan bernisan condong mati dipangku tanah sara menuju keabadian tuhanya.
Paduka pahami, kelak tanah Indonesia berubah hawanya, berubah menjadi panas
dan jarang hujan, berkurang hasil bumi, banyak orang suka berbuat angkara, berani
berbuat nista dan gemar bertengkar.
Hujan salah musim, membuat bingung para petani yang selama ini menjadi
tulang punggung Negara, kita merasa atau tidak para petani telah terzolimi oleh
penguasa, karena mereka rakyat kecil yang hidup sederhana, tetapi apa kita
sadar di balik kesederhanaan seorang petani itu mampu memberi makan semua
manusia di muka bumi ini. Karena dari merekalah sandang pangan itu diperoleh
oleh para manusia.
Jadi janganlah meremehkan hidup petani dan janganlah lupa kita pada semua
karunia dan ciptakanlah rasa kesetaraan antara si miskin dan kaya. Karena di mata
Tuhan kita semua sama.
Paduka rasakan sendiri, mulai hari ini hujan sudah mulai berkurang, sebagai
hukumannya manusia karena telah lalai dalam amanah. Besok bila sudah bertobat,
orang-orang baru ingat kepada Tuhan dan ingat kepada kesalahan, namun sudah
terlambat.
Jika selagi kita mampu maka berbuatlah kebaikan, luruskanlah maruah dan
martabat bangsa, serta ingatlah kepada leluhur yang telah membesarkan negeri
ini dan sejak awal Nusantara.
Indonesia telah diperalampita akan terkibar Sang Merah Putih dari tujuh
Negara besar di nusantara yang lahir dari lima Negara yang perkasa dan berjasa
pada nusantara ini dan terkenal ke seluruh Mancanegara.
Maka akan datang suatu zaman Kejayaan Bersama dan datanglah suatu makanan
buah dari ilmu, maka Tuhan akan memberi ampunan, dan memberi kesuburan tanah
dapat kembali seperti zaman keemasan di zaman lima kerajaan yang pernah berjaya
yakni di Zaman Mulawarman (Kutai Martapura), Purnawarman (Tarumanegara),
Mataram Lama, Sriwidjaya, dan Majapahit.
Hingga Indonesia menjadi Negara Besar dan merupaka Negara Kesatuan di antara
tujuh Negara, antaranya Singapura, Brunai, Malaysia, Thailand, Filipina,
Kamboja dan Vitnam.
Masya Allah, kapan kita akan kembali jaya dalam peralampita, kenapa semua
itu kita jadikan sengketa, padahal dulu kita satu dalam Nusantara.
Tuhan Yang Maha Esa, dengan anugerah-Nya, kita panjatkan doa kepada
junjungan nur jeli sifatulah dan bangkitkalah semangat putra putri generasi se-Nusa,
se-Tara, se-Bangsa, se-Jajar, hidup di bumi Prasada Pertiwi, Hiang Maha Esa,
Hiang Maha Agung, Hiang Maha Leluhur, Hiang Maha Tahu, Dan Hiang Maha Tinggi
Disebut Hiang Hurif Ling Sang Hiang Sukma Umala Kumunda Ke-Ancapada Kedunia
Longa Membawa Titah Runtut Purus Pelawira Yaitu Runtut Asal (keturunan asalnya)
runtut purus pahujungan (keturunan silsilahnya) dan runtut jenag saktinya
(keturunan asal yang berbudi pekerti) runtut pelawiran (keturunan yang menjaga
makluk hidup dan parasada pertiwi).
Paduka Yang Mulia, hari ini kami datang membawa jenang membawa sakti menaiki
garuda rembewang sakti menjunjung sabda panditha prasada pertiwi datang dengan
langkah terpuji karena membawa semengat hidup di bumi, membawa amanat negeri
nusantra ini, yang telah porak poranda akibat ulah manusia banyak yang tidak
terpuji dan berhati dengki.
Kami datang ke pusat negeri yang dijuluki Djaya Kerta artinya Jaya Menata
aturan namun lupa akan tempat asal bermula para Prabu (Raja) yang pernah silih
di zaman berganti dan selalu mewangi mengharumkan nama negeri ini, yang mana
orangnya menjadi jelata hidup juga merakyat hidup sun menjiwakan dirinya pada
negaranya dan memberikan raga dan sukma kepada bangsa ini untuk berkarya,
menjadikan sesuatu bermakna yaitu perinsip hidup orang dalam kesatuan
Nusantara.
Di tatar Nusa (pulau) antara Segara (Laut), hidup sejajar, di tatar
Bakulapura (Kalimantan), di tatar Swarnadwiva (Sumatera), di tatar Papua (Irian
Jaya), di tatar Sulawesi, di tatar Yawadwipa (Jawa) yang hidup Sanusantara
hidup sajajar ruhui rahayu, beradat istiadat, bermaruah berdarzah (darah
berderajat tinggi) mulang keasal, mulang ke diri sendiri, alam setitik asal
tiada bernyawa dengan kekuasaan tuhan, maka terjadilah alam dunia yang menjadi
wadah tempat berlindung sukma makhluk ciptaanya, penguasaan alam ini menurut
adatnya di empat penjuru alam bawah, atas, tanah dan air, meliputi alam raya.
Adat ini tidak ada yang mampu mengubahnya selain Tuhan, karena alam ini
terdiri dari persada bumi dan isinya adalah bapak yang memberi kita tempat
hidup sementara, baruna lautan dan isinya disebut segara. Pratiwi, ibu yang
membimbing putra putrinya dalam bahtera hidup di dunia. Bayu, angin adalah diri
kita sendiri yang bertiup kemana-mana bercengkrama dengan cakrawala awan-awan
lembayung yang menghiasi jagat raya dimainkan oleh surya matahari dengan hawa
panasnya, ditemani bulan yang sahdu selalu menyinari di tengah gelapnya malam
gulita, bintang menjadi petunjuk kemana arah tujuan langkah kita, ini semua
kekuasaan Tuhan semata disebut tatasurya.
Menata cahaya yaitu cahaya hati, pelita hidup, apakah arti semua itu adalah
kemuliaan tiada tara alam yang sudah sedemikian ini belum ada yang dapat
mengubahnya. Karena hukum alam yang terdapat dalam alam dunia ini adalah
penciptaan Tuhan disebut hukum adat yang teradat pada alam dunia.
Menurut adat-istiadat yang berlaku sejak ribuan tahun silam, tersusunya sistem
menujuk kepala negeri, raja dan lainnya di dalam suatu bangsa dipilih
berdasarkan adat istiadat yang teradat, sebagai pedoman hukumnya.
Marikita pahami sejarah bangsa Indonesia lahir sebagai Negara Kesatuan
dengan keanekaragaman agama, suku dan bangsa serta bahasa, yang berbeda-beda
yakni Bhinneka Tunggal Ika, berarti berbeda tetap satu tujuan.
Ikrar ini terjadi dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, hingga diproklamirkan oleh
Sukarno dan Hatta pada tahun 1945 tentang kemerdekaan Bangsa Indonesia yang
berazaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum kekuatan garis besar haluan
negara.
Hakekatnya tertanam pada filsafat kebatinan, bahwa negara Indonesia berayah
ibukan Persada Nusantara yang dilahirkan Ibu Pertiwi, mengandung pengertian
sanusa sedaratan, tanah, segara selautan, air setara jajaran pulau berantara
lautan yang dulunya mempunyai raja-raja, kepala suku dan kepala adat, yang
berhak yang sama.
Maka yang berhak memimpin negeri ini adalah putra Ibu Pertiwi yang diukur
dengan kecerdasannya, kepintarannya dan ilmu yang dimilikinya berdasar sifat
alam dan didaulat dengan sabda pertiwi. Dan yang berhak atas negara ini adalah
rakyat yang mempunyai hak kedaulatan penuh.
Kematian bukanlah the ending atau “riwayat” yang telah tamat. Kematian
merupakan proses manusia lahir kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi
derajatnya ketimbang hidup di dimensi bumi.
Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan sejati” yang penuh
kemuliaan, sebaliknya akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan.
Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang
sejati. Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi cahaya yang
menyelimuti sukma.
Di sisi lain, anak-turunannya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan rasa
berbakti sebagai wujud balas budinya kepada orang-orang yang telah menyebabkan
kelahirannya di muka bumi. Sadar atau tidak warisan para leluhur kita &
leluhur nusantara berupa tanah perdikan (kemerdekaan), ilmu, ketentraman,
kebahagiaan bahkan harta benda masih bisa kita rasakan hingga kini.