Minggu, 22 November 2015

MEA Membingkai Bahasa



OPINI

Oleh : Rabiatul Adawiyah, S.Pd, M.Hum

wartaekspres.com - Masyarakat dunia sedang menghadapi fenomena globalisasi yang hari demi hari semakin menuntut. Mereka yang hidup di belahan dunia manapun terus didorong dan diberi kesempatan seluas-seluasnya untuk saling berinteraksi. Mulai dari antar individu, kelompok etnik hingga antar negara dan bangsa. Komunikasi lintas budaya tersebut membentuk suatu kondisi pluralisme yang nantinya diharapkan akan mencapai masyarakat multikulturalisme ideal.

MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ASEAN Economic Community (AEC) merupakan satu output globalisasi yang tengah menjadi topik pembicaraan masyarakat Indonesia di berbagai forum. Sepuluh negara termasuk Indonesia, Malaysia, Singapur, Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina, Thailand, Kamboja, Laos dan Myanmar telah sepakat untuk membuat kebijakan yakni menyediakan akses termudah untuk kegiatan ekonomi, atau hematnya dikenal dengan istilah pasar bebas. Mereka sepakat akan melenyapkan berbagai peraturan pemerintah setempat yang bisa menghambat jalannya pasar bebas.

Isu pasar bebas ini sebenarnya sesuatu yang sudah kuno. ASEAN terbentuk sejak tahun 1967, kemudian perundingan 10 tahun selanjutnya membuahkan kebijakan yang mengarah pada kegiatan ekonomi bersama. Kebijakan pasar bebas yang dikenal pertama ialah ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang digagas pada tahun 1992. Selanjutnya pada tahun 2007 dibuatlah blueprint, dimana semua pemimpin sepuluh negara tersebut melakukan measure atau pengukuran kemampuan negara masing-masing dalam menyambut era pasar yang lebih bebas. Terakhir pada tahun 2015, isu Masyarakat Ekonomi ASEAN semakin gencar diperdebatkan. Peluncuran kebijakan ini rencananya akan diadakan pada tanggal 23 Nopember, dan akan diimplementasikan di seluruh wilayah negara ASEAN secara penuh pada tanggal 1 Januari 2016 mendatang.

Untuk mencapai MEA sebagai kebijakan masyarakat multikulturalisme ideal, perlu dilakukan berbagai butir kebijakan awal. Menurut ASEC dari total 508 butir yang harus ditempuh, secara umum sebanyak 465 sudah diimplementasikan sehingga yang belum terimplementasikan hanya 43 butir. Keseriusan negara Indonesia sepertinya di atas rata-rata tersebut. Hingga saat ini, Indonesia telah mengimplementasi 473 butir dan menyisakan 35 butir saja. Data juga menunjukkan bahwa Indonesia menerima kontribusi selama persiapan menuju MEA ini. Sebelum AFTA, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tercatat pada angka 1,1% dan meningkat hingga 6,2% setelah AFTA. Nilai Ekspor juga dikabarkan meningkat mencapai 143%.

Namun keraguan masyarakat mengenai kesiapan negara menapaki MEA juga berdasarkan data dan fakta. Dalam kategori kemampuan berinovasi, Indonesia berada pada peringkat ke-82 dari 140 negara; sedangkan Singapura teman sesama ASEAN, berada pada peringkat pertama. Dalam kategori kemudahan berbisnis ternyata Indonesia hanya berada pada peringkat 114; kemudian beberapa teman ASEAN sudah mendekati puncak. Ketinggalan-ketinggalan inilah yang menjadi landasan beberapa pakar menilai bahwa Indonesia belum pantas memasuki era pasar bebas. Dikhawatirkan nantinya negara hanya menjadi pasar; bukan pelaku pasar. Jikapun MEA  mempunyai sistem kandang paksa, pemerintah seharusnya lebih giat merumuskan kebijakan internal yang mampu menolong bangsa suatu hari nanti.

Salah satu kebijakan yang perlu disusun oleh Pemerintah ialah kebijakan terkait bahasa. Dalam berbagai seminar kebahasaan, telah dibahas bahwa ternyata pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada integritas bahasa. Kebijakannya yakni tidak digunakannya lagi UKBI (Ujian Kompetensi Bahasa Indonesia) sebagai syarat bagi warga asing yang ingin bekerja di Indonesia. Itu artinya siapapun yang ingin bekerja di Indonesia tidak harus menguasai bahasa Indonesia. Mereka cukup menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Selanjutnya karyawan pribumi yang bekerja di perusahaan dimana warga asing bekerja digiring untuk menguasai bahasa Inggris. Tidak mengherankan jika sekarang beberapa perusahaan menetapkan TOEFL yakni tes kemampuan berbahasa Inggris sebagai persyaratan kompetensi yang harus dimiliki oleh karyawannya. Maka yang terjadi ialah bahasa Indonesia akan digeser oleh bahasa asing di buminya sendiri, dan bisa dibayangkan bahwa dalam perusahan tersebut bahasa asing terus digunakan; sedangkan bahasa nasional hanya terngiang-ngiang.

Aspek bahasa lain yang cukup menggelitik ialah terkait implementasi kurikulum pengajaran bahasa yang ada di Indonesia. Mungkin saja Permendik tahun 2007 sudah mengatur dengan sangat jelas apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pengajar bahasa yakni memiliki kompetensi pada ranah linguistik (murni dan terapan), strategi, sosiolinguistik dan wacana. Namun yang terjadi kebanyakan guru bahasa baik bahasa Indonesia, bahasa Inggris serta bahasa asing lainnya hanya berputar pada strukturalis saja. Mereka mengajarkan struktur itu yang benar dan struktur ini salah. Misal saja, pembelajaran bahasa Indonesia hanya seputar penentuan ide pokok, jenis-jenis teks dan peraturan EYD yang sangat kompleks. Sedangkan nilai-nilai terkait kesadaran pentingnya menjaga bahasa Indonesia jarang dimasukkan. Faktor inilah yang menyebabkan remaja Indonesia mudah berpaling kepada bahasa asing. Istilah, jargon, slang dan bentuk bahasa asing lainnya dengan sangat mudah mereka cangkok. Sehingga, jarang yang mengetahui bahwa pelantang adalah bahasa Indonesia dari microphone; dan sebagainya.

Rancangan pembelajaran bahasa Inggris juga masih perlu dibenahi. Implementasinya harus selalu diperkuat mengingat TOEFL menjadi persyaratan untuk bekerja di perusahaan besar dan tertentu. Apa yang terjadi jika siswa-siswa hanya diajari dengan bahan dan teknik yang sangat monoton? Mereka pastinya akan lulus dengan pengetahuan bahasa Inggris yang tidak sanggup bersaing dengan arus warga asing yang terus masuk. Diperkirakan perusahaan besar yang ada di Indonesia kelak akan dijejali oleh warga asing karena warga Indonesia sendiri tidak menyanggupi persyaratan penguasaan bahasa tersebut. Sehingga kebutuhan tenaga kerja yang ada di perusahan Indonesia tidak bisa ditutupi dengan sumber daya manusia berasal dari negara sendiri, dan akan ditutupi oleh sumber daya manusia ‘asing’.

Tak hanya itu, MEA juga memberikan kekuatan dan kelemahan terhadap posisi kebertahanan budaya lokal. Masyarakat Ekonomi ASEAN memberi ruang sebesar-besarnya dalam hal promosi budaya lokal yang ada di Indonesia. Turis mancanegara yang berasal dari 10 negara ASEAN tersebut akan diberi kemudahan jika ingin berwisata di berbagai pelosok negara. Pada satu sisi kebijakan ini sebenarnya mampu meningkatkan devisa negara, dan pada sisi lain juga memberi pengaruh kepada budaya tuan rumah jika tidak mampu menyiasati pengaruh kontak dengan budaya lain. Selain itu, generasi penerus akan tersita waktunya dalam memupuk kecintaan berbahasa daerah yang diwariskan oleh nenek moyang karena sibuk belajar bahasa asing sebagai bekal mencari pekerjaan yang layak.

MEA memang bukan hal yang mudah untuk Indonesia, dan juga bukan sesuatu yang muda. Ia sudah sekian lama dirangkum, dan sekitar sebulan lagi akan menjadi ‘dewasa’ dan ‘nyata’. Kata beberapa ahli, manusia jaman sekarang sudah dianugerahi kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat, maka wajar saja jika tantangan di masanya semakin besar. Yang mesti kita ingat; seberapa besar kita tertantang untuk belajar bahasa asing, jangan lupa untuk senantiasa menjunjung bahasa lokal sebagai warisan kita. Jangan sampai Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menjadi cita-cita pemimpin kita membawa petaka bagi integritas bangsa dan bahasa.

Penulis adalah : Dosen Universitas Ichsan Gorantalo, Mantan Aktivis KPM-PM Polman

Baca juga di www.wartaekspres.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar