OPINI
Oleh : Rabiatul
Adawiyah, S.Pd, M.Hum
wartaekspres.com
- Masyarakat dunia sedang menghadapi fenomena globalisasi yang hari demi hari
semakin menuntut. Mereka yang hidup di belahan dunia manapun terus didorong dan
diberi kesempatan seluas-seluasnya untuk saling berinteraksi. Mulai dari antar
individu, kelompok etnik hingga antar negara dan bangsa. Komunikasi lintas
budaya tersebut membentuk suatu kondisi pluralisme yang nantinya diharapkan
akan mencapai masyarakat multikulturalisme ideal.
MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ASEAN
Economic Community (AEC) merupakan satu output
globalisasi yang tengah menjadi topik pembicaraan masyarakat Indonesia di
berbagai forum. Sepuluh negara termasuk Indonesia, Malaysia, Singapur, Brunei
Darussalam, Vietnam, Filipina, Thailand, Kamboja, Laos dan Myanmar telah
sepakat untuk membuat kebijakan yakni menyediakan akses termudah untuk kegiatan
ekonomi, atau hematnya dikenal dengan istilah pasar bebas. Mereka sepakat akan
melenyapkan berbagai peraturan pemerintah setempat yang bisa menghambat
jalannya pasar bebas.
Isu
pasar bebas ini sebenarnya sesuatu yang sudah kuno. ASEAN terbentuk sejak tahun
1967, kemudian perundingan 10 tahun selanjutnya membuahkan kebijakan yang
mengarah pada kegiatan ekonomi bersama. Kebijakan pasar bebas yang dikenal
pertama ialah ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang digagas pada tahun 1992.
Selanjutnya pada tahun 2007 dibuatlah blueprint,
dimana semua pemimpin sepuluh negara tersebut melakukan measure atau pengukuran kemampuan negara masing-masing dalam
menyambut era pasar yang lebih bebas. Terakhir pada tahun 2015, isu Masyarakat
Ekonomi ASEAN semakin gencar diperdebatkan. Peluncuran kebijakan ini rencananya
akan diadakan pada tanggal 23 Nopember, dan akan diimplementasikan di seluruh
wilayah negara ASEAN secara penuh pada tanggal 1 Januari 2016 mendatang.
Untuk
mencapai MEA sebagai kebijakan masyarakat multikulturalisme ideal, perlu
dilakukan berbagai butir kebijakan awal. Menurut ASEC dari total 508 butir yang
harus ditempuh, secara umum sebanyak 465 sudah diimplementasikan sehingga yang
belum terimplementasikan hanya 43 butir. Keseriusan negara Indonesia sepertinya
di atas rata-rata tersebut. Hingga saat ini, Indonesia telah mengimplementasi
473 butir dan menyisakan 35 butir saja. Data juga menunjukkan bahwa Indonesia
menerima kontribusi selama persiapan menuju MEA ini. Sebelum AFTA, pertumbuhan
ekonomi Indonesia hanya tercatat pada angka 1,1% dan meningkat hingga 6,2%
setelah AFTA. Nilai Ekspor juga dikabarkan meningkat mencapai 143%.
Namun
keraguan masyarakat mengenai kesiapan negara menapaki MEA juga berdasarkan data
dan fakta. Dalam kategori kemampuan berinovasi, Indonesia berada pada peringkat
ke-82 dari 140 negara; sedangkan Singapura teman sesama ASEAN, berada pada peringkat
pertama. Dalam kategori kemudahan berbisnis ternyata Indonesia hanya berada
pada peringkat 114; kemudian beberapa teman ASEAN sudah mendekati puncak.
Ketinggalan-ketinggalan inilah yang menjadi landasan beberapa pakar menilai
bahwa Indonesia belum pantas memasuki era pasar bebas. Dikhawatirkan nantinya
negara hanya menjadi pasar; bukan pelaku pasar. Jikapun MEA mempunyai sistem kandang paksa, pemerintah
seharusnya lebih giat merumuskan kebijakan internal yang mampu menolong bangsa
suatu hari nanti.
Salah
satu kebijakan yang perlu disusun oleh Pemerintah ialah kebijakan terkait
bahasa. Dalam berbagai seminar kebahasaan, telah dibahas bahwa ternyata
pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada integritas
bahasa. Kebijakannya yakni tidak digunakannya lagi UKBI (Ujian Kompetensi
Bahasa Indonesia) sebagai syarat bagi warga asing yang ingin bekerja di
Indonesia. Itu artinya siapapun yang ingin bekerja di Indonesia tidak harus
menguasai bahasa Indonesia. Mereka cukup menguasai bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional. Selanjutnya karyawan pribumi yang bekerja di perusahaan
dimana warga asing bekerja digiring untuk menguasai bahasa Inggris. Tidak
mengherankan jika sekarang beberapa perusahaan menetapkan TOEFL yakni tes
kemampuan berbahasa Inggris sebagai persyaratan kompetensi yang harus dimiliki
oleh karyawannya. Maka yang terjadi ialah bahasa Indonesia akan digeser oleh
bahasa asing di buminya sendiri, dan bisa dibayangkan bahwa dalam perusahan
tersebut bahasa asing terus digunakan; sedangkan bahasa nasional hanya
terngiang-ngiang.
Aspek
bahasa lain yang cukup menggelitik ialah terkait implementasi kurikulum
pengajaran bahasa yang ada di Indonesia. Mungkin saja Permendik tahun 2007
sudah mengatur dengan sangat jelas apa saja yang harus dimiliki oleh seorang
pengajar bahasa yakni memiliki kompetensi pada ranah linguistik (murni dan
terapan), strategi, sosiolinguistik dan wacana. Namun yang terjadi kebanyakan
guru bahasa baik bahasa Indonesia, bahasa Inggris serta bahasa asing lainnya hanya
berputar pada strukturalis saja. Mereka mengajarkan struktur itu yang benar dan
struktur ini salah. Misal saja, pembelajaran bahasa Indonesia hanya seputar
penentuan ide pokok, jenis-jenis teks dan peraturan EYD yang sangat kompleks.
Sedangkan nilai-nilai terkait kesadaran pentingnya menjaga bahasa Indonesia
jarang dimasukkan. Faktor inilah yang menyebabkan remaja Indonesia mudah
berpaling kepada bahasa asing. Istilah, jargon, slang dan bentuk bahasa asing
lainnya dengan sangat mudah mereka cangkok. Sehingga, jarang yang mengetahui
bahwa pelantang adalah bahasa
Indonesia dari microphone; dan
sebagainya.
Rancangan
pembelajaran bahasa Inggris juga masih perlu dibenahi. Implementasinya harus
selalu diperkuat mengingat TOEFL menjadi persyaratan untuk bekerja di
perusahaan besar dan tertentu. Apa yang terjadi jika siswa-siswa hanya diajari
dengan bahan dan teknik yang sangat monoton? Mereka pastinya akan lulus dengan
pengetahuan bahasa Inggris yang tidak sanggup bersaing dengan arus warga asing
yang terus masuk. Diperkirakan perusahaan besar yang ada di Indonesia kelak
akan dijejali oleh warga asing karena warga Indonesia sendiri tidak menyanggupi
persyaratan penguasaan bahasa tersebut. Sehingga kebutuhan tenaga kerja yang
ada di perusahan Indonesia tidak bisa ditutupi dengan sumber daya manusia
berasal dari negara sendiri, dan akan ditutupi oleh sumber daya manusia
‘asing’.
Tak
hanya itu, MEA juga memberikan kekuatan dan kelemahan terhadap posisi
kebertahanan budaya lokal. Masyarakat Ekonomi ASEAN memberi ruang
sebesar-besarnya dalam hal promosi budaya lokal yang ada di Indonesia. Turis
mancanegara yang berasal dari 10 negara ASEAN tersebut akan diberi kemudahan
jika ingin berwisata di berbagai pelosok negara. Pada satu sisi kebijakan ini
sebenarnya mampu meningkatkan devisa negara, dan pada sisi lain juga memberi
pengaruh kepada budaya tuan rumah jika tidak mampu menyiasati pengaruh kontak
dengan budaya lain. Selain itu, generasi penerus akan tersita waktunya dalam
memupuk kecintaan berbahasa daerah yang diwariskan oleh nenek moyang karena
sibuk belajar bahasa asing sebagai bekal mencari pekerjaan yang layak.
MEA
memang bukan hal yang mudah untuk Indonesia, dan juga bukan sesuatu yang muda.
Ia sudah sekian lama dirangkum, dan sekitar sebulan lagi akan menjadi ‘dewasa’
dan ‘nyata’. Kata beberapa ahli, manusia jaman sekarang sudah dianugerahi
kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat, maka wajar saja jika tantangan
di masanya semakin besar. Yang mesti kita ingat; seberapa besar kita tertantang
untuk belajar bahasa asing, jangan lupa untuk senantiasa menjunjung bahasa
lokal sebagai warisan kita. Jangan sampai Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menjadi
cita-cita pemimpin kita membawa petaka bagi integritas bangsa dan bahasa.
Penulis adalah : Dosen Universitas Ichsan Gorantalo, Mantan
Aktivis KPM-PM Polman
Baca juga di www.wartaekspres.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar