Selasa, 02 Agustus 2016

Fenomena Di Masa Kini Tanpa Menoleh Di Masa Lampau

Oleh: Kapten Czi Kustoyo

KEDIRI – wartaekspres.com - Baru-baru ini, mata kita terbelalak lebar-lebar melihat tayangan di beberapa stasiun televisi, suara yang terus menerus diberitakan di radio, dan tulisan-tulisan yang terpampang di media cetak dan online, tentang fenomena keterpurukan jatidiri bangsa Indonesia terhadap kesadaran hidup berdampingan antar umat beragama yang berbeda satu sama lain.

Fenomena yang terjadi di Tanjung Balai, terbilang sudah tidak langka lagi di bumi nusantara, karena banyak fenomena-fenomena “intoleransi” yang terjadi, hanya karena ego semata dan pandangan sempit.

Bila kita berkunjung ke Kota Ramalah di Palestina, kita bisa mendapati beberapa tempat ibadah digunakan 2 hingga 3 umat beragama yang berbeda satu sama lain, dalam satu tempat ibadah. Sangat tragis bila kita mengetahui rentetan sejarah dan fakta yang ada di Palestina, bahwa ternyata mereka mengapdosi Pancasila dengan aplikasi menurut versi mereka, justru di negeri yang diadopsinya, malah terjadi fenomena-fenomena yang tidak sepantasnya dan sepatutnya terjadi. 

Menoleh ke belakang, di masa penjajahan, tidak ada satupun pahlawan-pahlawan kita yang membawa jargon atau bendera “satu agama”, yang ada dalam pikiran mereka hanya suatu kemerdekaan, yang artinya bebas dari belenggu penjajahan.

Bagi para pahlawan kita, agama dijadikan sebagai pendorong dan semangat spiritual untuk menguatkan moral dan mental menghadapi penjajah, yang notabene berada di atas angin, karena segala persenjataan yang dimiliki di atas apa yang dimiliki para pejuang kita, itupun dalam konteks yang jelas dan tidak tersamarkan. 

Bukti toleransi antar umat beragama di masa perjuangan tidak terelakan lagi, seperti yang dilakukan KH. Agus Salim ketika terjun ke dunia jurnalistik di tahun 1915, dan menulis beberapa tulisan di “Harian Neratja”.

Semua tulisan-tulisan beliau sampai detik ini bisa diakses secara terbuka di era teknologi serba modern saat ini, dan tidak ada satupun tulisan yang membawa slogan agama sebagai dasar tujuan untuk meraih kemerdekaan, bahkan ketika beliau menjadi pemimpin “Harian Baroe” dan mendirikan “Fadjar Asia”, semua tulisan mengarah pada “Bebas dan Merdeka”. 

Demikian juga A. Soegijapranata, tepat tanggal 20 Oktober 1945, karena kepedulian akan kesengsaraan rakyat di Semarang, beliau menyatakan, bahwa pihak sekutu harus menghentikan pertempuran, dan pihak sekutu mengaku sulit terealisasi, karena mereka tidak kenal dengan komandan Jepang. Pada akhirnya A. Soegijapranata menghubungi pihak Jepang untuk menjadi perantara dalam perjanjian gencatan senjata.

Bahkan, ketika terjadi “Pertempuran Lima Hari” di Semarang yang berlangsung mulai tanggal 15 Oktober 1945, seluruh cadangan pangan yang diperuntukan bagi para biarawan dan biarawati, dihabiskan untuk dibagikan kepada rakyat, tanpa memandang latarbelakang agamanya. 

Para pendiri bangsa ini sudah sangat jelas dalam catatan emas sejarah, menginginkan generasi sesudah mereka, untuk bersatu dalam segala perbedaan, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila, bukan malah saling bertentangan satu sama lain dan membenarkan secara paksa apa yang diyakininya.

Sebentar lagi, seluruh Rakyat Indonesia akan memperingati dan merayakan HUT Kemerdekaan RI ke 71, momentum tersebut bisa dijadikan untuk bercermin diri apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan dilakukan, tanpa harus mengusung perbedaan, karena perbedaan itu sudah ada sejak bumi ini dibentuk dan manusia diciptakan untuk pertama kalinya di bumi.

Mundur ke belakang, di era kepemimpinan Raja Hayam Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit pada tahun 1350 hingga 1389, atau ketika Sangrama Vijayottunggawarman memerintah Kerajaan Sriwijaya di tahun 1025, semua agama apapun, disahkan dan dibebaskan tanpa ada kekangan ataupun internvensi.

Bukti yang terelakkan lagi juga terjadi di masa kemerdekaan ini, bagaimana KH.  Abdurachman Wahid atau Gus Dur, yang mengusung bendera “Pluralisme”, diantara segala kemajemukan bangsa ini, dan sukses mengantar kesadaran Rakyat Indonesia kepada kesadaran akan kesatuan dan persatuan.

Proklamasi dikumandangkan bukan untuk satu komunitas, atau satu golongan saja, melainkan disuarakan untuk seluruh Rakyat Indonesia tanpa terkecuali, bahkan para pendiri bangsa ini, sepakat bersatu dalam kesatuan Republik Indonesia dengan menerima segala perbedaan latar belakang yang ada.

Tidak lebih dan tidak kurang, bila “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi dasar pokok utama Rakyat Indonesia untuk saling menyadari dan saling menghormati satu sama lain, bukan malah sebaliknya, saling menyerang dan saling menghancurkan.

Mengutip salah satu syair dari Khalil Gibran : (dalam terjemahan bebas)
Apa jadinya di bumi ini hanya satu jenis manusia laki-laki atau hanya satu jenis manusia perempuan.
Apa jadinya di bumi ini hanya ada binatang darat saja, atau hanya ada binatang laut saja ,atau binatang udara saja.
Apa jadinya di bumi ini hanya ada gandum saja yang bisa dimakan, atau hanya kurma saja yang bisa dimakan.
Bila manusia hanya mengetahui , maka tidak akan mengerti arti perbedaan, dan bila manusia hanya mengerti ,maka tidak akan memahami arti perbedaan, dan bila manusia hanya memahami, maka tidak akan mengetahui perbedaan.

(Penulis adalah Danramil Kandangan - Kodim 0809/Kediri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar