Oleh: Kapten Czi Kustoyo
KEDIRI – wartaekspres.com - Baru-baru ini, mata kita
terbelalak lebar-lebar melihat tayangan di beberapa stasiun televisi, suara
yang terus menerus diberitakan di radio, dan tulisan-tulisan yang terpampang di
media cetak dan online, tentang fenomena keterpurukan jatidiri bangsa Indonesia
terhadap kesadaran hidup berdampingan antar umat beragama yang berbeda satu
sama lain.
Fenomena yang terjadi di Tanjung Balai, terbilang
sudah tidak langka lagi di bumi nusantara, karena banyak fenomena-fenomena
“intoleransi” yang terjadi, hanya karena ego semata dan pandangan sempit.
Bila kita berkunjung ke Kota Ramalah di Palestina,
kita bisa mendapati beberapa tempat ibadah digunakan 2 hingga 3 umat beragama
yang berbeda satu sama lain, dalam satu tempat ibadah. Sangat tragis bila kita
mengetahui rentetan sejarah dan fakta yang ada di Palestina, bahwa ternyata
mereka mengapdosi Pancasila dengan aplikasi menurut versi mereka, justru di
negeri yang diadopsinya, malah terjadi fenomena-fenomena yang tidak sepantasnya
dan sepatutnya terjadi.
Menoleh ke belakang, di masa penjajahan, tidak ada
satupun pahlawan-pahlawan kita yang membawa jargon atau bendera “satu agama”,
yang ada dalam pikiran mereka hanya suatu kemerdekaan, yang artinya bebas dari
belenggu penjajahan.
Bagi para pahlawan kita, agama dijadikan sebagai
pendorong dan semangat spiritual untuk menguatkan moral dan mental menghadapi
penjajah, yang notabene berada di atas angin, karena segala persenjataan yang
dimiliki di atas apa yang dimiliki para pejuang kita, itupun dalam konteks yang
jelas dan tidak tersamarkan.
Bukti toleransi antar umat beragama di masa perjuangan
tidak terelakan lagi, seperti yang dilakukan KH. Agus Salim ketika terjun ke dunia
jurnalistik di tahun 1915, dan menulis beberapa tulisan di “Harian Neratja”.
Semua tulisan-tulisan beliau sampai detik ini bisa
diakses secara terbuka di era teknologi serba modern saat ini, dan tidak ada
satupun tulisan yang membawa slogan agama sebagai dasar tujuan untuk meraih
kemerdekaan, bahkan ketika beliau menjadi pemimpin “Harian Baroe” dan
mendirikan “Fadjar Asia”, semua tulisan mengarah pada “Bebas dan
Merdeka”.
Demikian juga A. Soegijapranata, tepat tanggal 20
Oktober 1945, karena kepedulian akan kesengsaraan rakyat di Semarang, beliau
menyatakan, bahwa pihak sekutu harus menghentikan pertempuran, dan pihak sekutu
mengaku sulit terealisasi, karena mereka tidak kenal dengan komandan Jepang.
Pada akhirnya A. Soegijapranata menghubungi pihak Jepang untuk menjadi
perantara dalam perjanjian gencatan senjata.
Bahkan, ketika terjadi “Pertempuran Lima Hari” di
Semarang yang berlangsung mulai tanggal 15 Oktober 1945, seluruh cadangan
pangan yang diperuntukan bagi para biarawan dan biarawati, dihabiskan untuk
dibagikan kepada rakyat, tanpa memandang latarbelakang agamanya.
Para pendiri bangsa ini sudah sangat jelas dalam
catatan emas sejarah, menginginkan generasi sesudah mereka, untuk bersatu dalam
segala perbedaan, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila, bukan
malah saling bertentangan satu sama lain dan membenarkan secara paksa apa yang
diyakininya.
Sebentar lagi, seluruh Rakyat Indonesia akan
memperingati dan merayakan HUT Kemerdekaan RI ke 71, momentum tersebut bisa
dijadikan untuk bercermin diri apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan
dilakukan, tanpa harus mengusung perbedaan, karena perbedaan itu sudah ada
sejak bumi ini dibentuk dan manusia diciptakan untuk pertama kalinya di bumi.
Mundur ke belakang, di era kepemimpinan Raja Hayam
Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit pada tahun 1350 hingga 1389, atau ketika
Sangrama Vijayottunggawarman memerintah Kerajaan Sriwijaya di tahun 1025, semua
agama apapun, disahkan dan dibebaskan tanpa ada kekangan ataupun internvensi.
Bukti yang terelakkan lagi juga terjadi di masa
kemerdekaan ini, bagaimana KH. Abdurachman Wahid atau Gus Dur, yang
mengusung bendera “Pluralisme”, diantara segala kemajemukan bangsa ini, dan
sukses mengantar kesadaran Rakyat Indonesia kepada kesadaran akan kesatuan dan
persatuan.
Proklamasi dikumandangkan bukan untuk satu komunitas,
atau satu golongan saja, melainkan disuarakan untuk seluruh Rakyat Indonesia
tanpa terkecuali, bahkan para pendiri bangsa ini, sepakat bersatu dalam
kesatuan Republik Indonesia dengan menerima segala perbedaan latar belakang
yang ada.
Tidak lebih dan tidak kurang, bila “Bhinneka Tunggal
Ika” menjadi dasar pokok utama Rakyat Indonesia untuk saling menyadari dan
saling menghormati satu sama lain, bukan malah sebaliknya, saling menyerang dan
saling menghancurkan.
Mengutip salah satu syair dari Khalil Gibran : (dalam
terjemahan bebas)
Apa jadinya di bumi ini hanya satu jenis manusia
laki-laki atau hanya satu jenis manusia perempuan.
Apa jadinya di bumi ini hanya ada binatang darat saja,
atau hanya ada binatang laut saja ,atau binatang udara saja.
Apa jadinya di bumi ini hanya ada gandum saja yang
bisa dimakan, atau hanya kurma saja yang bisa dimakan.
Bila manusia hanya mengetahui , maka tidak akan
mengerti arti perbedaan, dan bila manusia hanya mengerti ,maka tidak akan
memahami arti perbedaan, dan bila manusia hanya memahami, maka tidak akan
mengetahui perbedaan.
(Penulis adalah Danramil Kandangan - Kodim
0809/Kediri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar