![]() |
“Alpiansyah Gelar Maharaja Srinala Praditha Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsawarman (Kepala Adat Besar) Pemangku Adat, Raja Kuasa Wilayah Di Pertuan Agung” |
Kutai Mulawarman Martapura di Muara
Kaman dan Kutai Kartanegara di Tenggarong Kerajaan Kutai Martapura telah
berkuasa dari tahun 350 M dan kerajaan ini berdaulat penuh atas hak negerinya
dan mempunyai sistem pemerintahan Naladuta dimana Raja dipertuan Agung adalah
seorang Maharaja dan dua orang Wakil menjadi Maharaja Negeri dan menjadi
Maharaja Penghulu dan para pembesar lainya adalah para Raja wilayah disebut
Naladuta di setiap negeri jajahanya, undang-undang kerajaan ini diberinama
Kalpa Nalaberaja yang mengatur sistem pemerintahan Beraja di dalam Istana Induk
dan Kalpa Naladipura merupakan Undang-undang yang mengatur adat istiadat dan budaya
serta Kalpanaladuta yang mengatur sistem pemerintahan raja-raja wilayah dan
mengatur hukum hidup rakyat di dalam wilayah taklukan, semua perundangan ini
disendikan atas sara agama Hindu.
Suku Kutai Pantun adalah Suku atau
Puak yang paling tua di antara 5 suku atau Puak Kutai lainnya dan Suku ini
mendiami daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara sampai daerah Wahau dan daerah
Muara Ancalong, serta daerah Muara Bengkal, daerah Kombeng di dalam wilayah
Kab. Kutai Timur sekarang.
Suku Kutai Pantun dapat dikatakan
sebagai turunan para bangsawan dan pembesar di Kerajaan Kutai Martapura (Kutai
Mulawarman). Sebenarnya nama kerajaan ini awalnya disebut Queitaire (Kutai)
oleh pendatang dan pedagang awal abad Masehi yang datang dari India Selatan
yang artinya Belantara, ibukota kerajaannya bernama Maradavure (Martapura)
berada di Pulau Naladwipa dan letaknya di tepi Sungai Mahakam di seberang persimpangan
Sungai Kanan Mudik Mahakam yakni Sungai Kedang Rantau asal nama Kota Muara
Kaman sekarang.
Hal di atas di dasari dari
pengkajian jalur pelayaran India, Indo China dan Kalimantan yang amat menarik
dikaji secara mendalam, maka secara pasti kronologis sejarah ini juga termuat
dalam berita jalur perdagangan timbal balik segitiga antar daerah, karena bukan
saja dalam berita-berita dari India saja namun berita-berita dari China pun
dapat dijadikan bahan kajian mengenai asal nama Kutai.
Dalam hubungan dagang bangsa China
dengan Pulau Silalahi yang berada di bagian timur negeri China, dan mereka
menyebut pulau tersebut dengan nama Zabudj artinya Kalimantan, dan baru
diketahui kemudian ada hubungan antara Kerajaan Campa dan Kho-Thay (Kutai) yang
berasal dari makna Kerajaan Besar di pedalaman Sungai Mahakam.
Memang, nama Kutai baru dikenal
dalam bahasa Melayu, sebutan awalnya menurut berita India adalah Queitaire
artinya Belantara dan dalam berita Campa atau China disebut Kho-Thay artinya
Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar. Kemudian perpindahan penduduk dari Campa
sebagai buruh tambang emas yang membangun sistem kesukuan dan dikepalai oleh
seorang Raja Kecil bawahan dari Kemaharajaan Kutai Martapura, dipimpin oleh
seorang Kepala Puak Sendawar (Suku Dataran atau Dayak Tunjung), mereka mendiami
daerah Melak sampai Barong Tongkok di Kab. Kutai Barat sekarang.
Sejarah Bengalon
Dengan Maharaja Guna Perana Tungga
naik Tahta di Kutai Martapura dalam tahun (1265-1325 Masehi) yang melahirkan putra/putri,
salah satunya Mahaputri Indra Perwati Dewi yang diperistri oleh Aji Batara
Agung Paduka Nira anak Raden Kusuma dan Aji Putri Karang Melenu. perkawinan ini
di Bungalo Mengkaying (Bengalon sekarang) maka putri mendapat gelar Aji Paduka
Suri atau Mahasuri di Bengalon.
Dulunya daerah Bengalon dikenal
dengan nama Kampung Sepaso. Sepasoa adalah Tanah Sumahan atau Tanah Sesembahan
(jujuran) dari Raja Kutai bernama Aji Batara Agung Paduka Nira yang hendak
meminang seorang putri Bengalon yang bernama Putri Petung.
Disebutkan, bahwa putri Bengalon
meminta “Membilang Kersik Sebokor, Membilang Karang Selanjung, Membilang Daun
Rinding Yang Bergerak“. Aji Batara Agung, Paduka Nira menyetujui dengan
menyebutkan bahwa ”Mana-mana Yang Mendengar Petong Ini Meletop, Itulah
Sumahannya.”
Ada juga yang menyebutkan bahwa
Bengalon terbentuk karena di sekitar sungai banyak terdapat pohon Bengalon
makanya disebut dengan wilayah Bengalon. Aji Batara Agung Paduka Nira bersumpah,
“mana-mana yang tidak mau menurut itu katakan kepada aku, akulah lawannya dan
lagi orang Bengalon hingga jenangku sampai di anak cucuku hingga bersahabat
saja dengan anak cucuku, mana-mana yang menjadi Raja di Negeri Kutai inilah
perjanjian Kutai dengan Bengalon sampai hari ini, jika susah Bengalon susah
juga Kutai, dan jika susah Kutai susah juga Bengalon sampai sekarang ini, dan
pada akhirnya putri Bengalon dijadikan Paduka Ratu bergelar Aji Paduka Suri
atau Mahasuri di Bengalon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar