Sabtu, 02 Januari 2016
Hak Kebebasan Beragama Dalam Konteks Ketuhanan Yang Maha Esa
Oleh: Kapten Inf Sunarjo
wartaekspres.com - Pancasila muncul sebagai “jalan tengah“ di antara dua kutub ekstrim antara paham negara agama (Theocracy) dan paham negara sekuler (Secularism). Pada satu pihak dengan penegasan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa“, maka tidak mungkin kita mendepak nilai-nilai agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan berbangsa dan ber-negara, karena hal itu bertentangan dengan degub jantung kehidupan rakyat Indonesia yang sangat religius.
Di pihak lain, dengan mengangkat dasar “Ketuhanan yang Maha Esa“ (bukan agama tertentu) juga berarti pengakuan terhadap semua agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Jadi, bukan Ketuhanan menurut salah satu agama saja, melainkan Ketuhanan menurut agama masing-masing, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno.
Dalam kaitannya dengan relasi agama dan negara, Pancasila diajukan Bung Karno sebagai Philosopie Gronslag (Dasar Falsafah) Negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul Lahirnya Pancasila, di depan sidang Dokoritsu Zonbie Tjosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945, dalam rangka menjawab dan menemukan solusi dari para peserta sidang yang terbelah menjadi dua pilihan, yaitu pilihan Negara Islam, dan pilihan Negara Sekular.
Kerangka berpikir seperti itulah Bung Karno menyebut, bahwa Indonesia yang hendak didirikan adalah sebuah Nationale Staat (Negara Nasional). Dan dalam mengelola kemajemukan masyarakat Indonesia, maka model yang hendak dipilih oleh Bung Karno adalah Sriwijaya dan Majapahit, bukan negara-negara agama seperti Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore dan lain-lain.
Selanjutnya, semboyan yang dicantumkan dalam lambang negara adalah “Bhinneka Tunggal Ika“ (Berbeda-beda tetapi Satu), suatu ungkapan yang berasal dari Mpu Tantular, di puncak kejayaan Majapahit, dengan tepat mengungkapkan problem kemajemukan Indonesia yang harus dijadikan asas dalam pembangunan hukum. Rujukan kepada negara nasional Majapahit bagi para pendiri bangsa Indonesia, ternyata secara historis mempunyai dasar filosofis yang sangat mendalam.
Fakta sejarah juga membuktikan bahwa jauh sebelum Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwa ”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang menekankan pengakuan negara atas Tuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima, tanpa terikat oleh definisi menurut salah satu agama, kesadaran ini sudah muncul pada negara nasional Majapahit.
Baca selengkapnya di www.wartaekspres.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar