Andry M.R. Laritembun |
Masyarakat adat diikat dengan kontrak kerja
diatur secara sistemik yang hanya untuk menguntungkan pihak perusahaan tersebut, namun di balik itu meninggalkan
kerugian yang sangat besar bagi masyarakat adat setempat.
“Kami
pikir kerja sama ini bisa menguntungkan kami, tapi sebaliknya hanya membuat
pusing saja.... Pembayaran Kompensasi terhadap kayu-kayu yang sudah di tebang
sampai saat ini kurang lebih 1 bulan belum ada realisasi pembayaran tersebut,
sementara kayu sudah dibawa keluar, belum lagi dengan kayu-kayu yang masih tertinggal
di beberapa titik di dalam hutan areal tebangan. Kami tidak mengerti dengan
menajemen perusahaan seperti ini, kami
harap perusahan yang masuk bisa membantu kami untuk meningkatkan taraf hidup
ekonomi kami masyarakat tapi justru yang ada malah memperburuk situasi ekonomi
kami,” ujar pemilik Hak Ulayat
dar Marga Wanggabus.
Sementara itu, Andry M.R. Laritembun, aktifis HAM dan
Lingkungan Hidup menyayangkan sistem kerjanya yang ada di dalam IUPHHK PT. Arfak Indra, karena perusahaan tidak mampu
mengangkat harkat ekonomi masyarakat adat setempat. Masyarakat adat sudah
membuka diri, membuka lahan mereka untuk menerima perusahaan untuk bekerjasama, namun pada ahkirnya
yang didapat hanya diputar seperti bola oleh pemilik modal dalam hal ini IUPHHK
PT. Arfak Indra.
Lebih
lanjut dikatakan, Kami menemukan beberapa kasus di lapangan antara lain, pembayaran lokasi KM.15 per bulan Rp. 2.500.000, sampai saat ini tidak
ada realisasi dari pihak perusahaan. Pada hal, di dalam perjanjian tersebut
ada, kayu gesekan yang dipakai untuk pembangunan Base Camp di Log Pound-nya juga sampai saat
ini tidak ada pembayaran ke masyarakat pemilik hak ulayat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar