Pengurus gereja berpakaian adat Betawi di Bekasi. ©2015 Merdeka.com |
Wilayah Kampung Sawah saat itu masih seperti hutan belantara yang gelap. Mayoritas penghuninya adalah orang-orang Betawi yang berbahasa Melayu dan terdiri dari percampuran berbagai macam kebudayaan dan keturunan.
Perpaduan antara budaya Betawi dengan kekristenan sebenarnya sudah terjadi sebelum masuknya Katolik ke Kampung Sawah. Meester Anthing adalah orang Protestan pertama yang berhasil masuk ke dalam budaya Betawi. Ia berhasil mendirikan jemaat di Kampung Sawah dan berhasil memadukan ritus-ritus budaya dengan kekristenan yang menitikberatkan pada ngelmu dan hal-hal mistik lainnya.
Sayangnya hal tersebut dianggap sinkretisme dan semakin lama praktik-praktik tersebut mulai memudar. Saat ini masih tersisa beberapa anggota jemaat yang menggunakan doa Bapa Kami dalam bahasa Betawi untuk melindungi mereka di tempat-tempat angker.
Paroki Santo Servatius Kampung Sawah sendiri merupakan sempalan dari Gereja Protestan Kampung Sawah yang dirintis oleh Meester Anthing. Pada tahun 1895 jemaat Protestan Kampung Sawah terpecah menjadi tiga fraksi yang saling bermusuhan.
Fraksi pertama adalah kelompok guru Laban yang bermarkas di Kampung Sawah barat, fraksi kedua adalah kelompok Yoseh yang mengadakan kebaktian di Kampung Sawah timur dan fraksi ketiga adalah kelompok guru Nathanael yang memilih Katolik Roma untuk masuk ke Kampung Sawah.
Guru Nathanael sendiri melakukan hal tersebut setelah ia dipecat dari jabatan guru pembantu di Gereja Protestan Kampung Sawah. Ia kemudian mencari bantuan ke gereja Katedral yang berada di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Pada tanggal 6 Oktober dianggap sebagai hari kelahiran umat Katolik Kampung Sawah (sebutan awal untuk Paroki Santo Servatius Kampung Sawah) setelah Pastor Schweitz membaptis 18 anak di Kampung Sawah.
Dewan Paroki Santo Servatius Kampung Sawah, Matheus Nalih Ungin, membenarkan bahwa gereja perdana diawali oleh 18 orang betawi asli Kampung Sawah yang mengikrarkan diri untuk memeluk agama Katolik.
"Waktu itu tahun 1896, dan mereka lah yang memulai menggunakan tradisi betawi di kampung sawah, khusus untuk warga Katolik," katanya kepada merdeka.com, Sabtu (19/12).
Hari ini, merdeka.com akan mengulas tentang cerita suku betawi yang menganut agama kristen di Bekasi, juga tentang akulturasi Jawa Hindu dan Belanda.
Gereja Kampung Sawah, Konsisten Dengan Adat Betawi Sejak
1896
Rumah Betawi di Gereja Kampung Sawah, Bekasi. ©2015 Merdeka.com |
Dewan Paroki Gereja Santo Servatius
Kampung Sawah, Bekasi, Matheus Nalih Ungin, mengatakan, sejak berdirinya gereja
perdana pada tahun 1896 lalu, umat perdana sudah menggunakan tradisi Betawi,
karena 18 orang yang mengikrarkan merupakan penduduk asli Bekasi Kampung Sawah.
"Sekarang sejarah itu dicoba untuk tetap dijaga, dipertahankan, dan dicoba untuk digalakkan khususnya buat generasi penerus," kata Nalih kepada merdeka.com, Sabtu (19/12).
Menurut dia, tradisi ini diniatkan untuk mengolaborasi sekat-sekat perbedaan semakin mengikis, sehingga hubungan antar sesama warga Kampung Sawah semakin rukun, dan semakin saling menghormati dan menghargai dengan mengeleminir suku, ras, dan agama.
"Seiring berjalannya waktu kemudian tradisi itu sedikit memudar, kemudian seiring adanya pergantian para pastor yang menetap di Kampung Sawah secara gencar Gereja memulai lagi menggalakan tradisi itu," kata dia.
Sebab, pihak gereja memandang bahwa penggunaan adat ada baiknya. Karena kebudayaan bisa juga menjadi petunjuk peradaban suatu masyarakat yang sekaligus juga digunakan sebagai perekat antar sesama dalam kehidupan yang beragam di Kampung Sawah.
"Prinsip-prinsip itulah yang dipakai oleh Gereja Santo Servatius untuk tetap mempertahankan tradisi yang sudah dilakukan oleh para leluhur sejak tahun 1896 sebagai Gereja perdana," katanya.
"Sekarang sejarah itu dicoba untuk tetap dijaga, dipertahankan, dan dicoba untuk digalakkan khususnya buat generasi penerus," kata Nalih kepada merdeka.com, Sabtu (19/12).
Menurut dia, tradisi ini diniatkan untuk mengolaborasi sekat-sekat perbedaan semakin mengikis, sehingga hubungan antar sesama warga Kampung Sawah semakin rukun, dan semakin saling menghormati dan menghargai dengan mengeleminir suku, ras, dan agama.
"Seiring berjalannya waktu kemudian tradisi itu sedikit memudar, kemudian seiring adanya pergantian para pastor yang menetap di Kampung Sawah secara gencar Gereja memulai lagi menggalakan tradisi itu," kata dia.
Sebab, pihak gereja memandang bahwa penggunaan adat ada baiknya. Karena kebudayaan bisa juga menjadi petunjuk peradaban suatu masyarakat yang sekaligus juga digunakan sebagai perekat antar sesama dalam kehidupan yang beragam di Kampung Sawah.
"Prinsip-prinsip itulah yang dipakai oleh Gereja Santo Servatius untuk tetap mempertahankan tradisi yang sudah dilakukan oleh para leluhur sejak tahun 1896 sebagai Gereja perdana," katanya.
Baca selengkapnya di www.wartaekspres.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar